BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Sunday, March 6, 2011

SAINS DALAM ISLAM

MENCARI MODEL PENGEMBANGAN SAINS
DI DUNIA ISLAM KONTEMPORER
Oleh: Muqowim

Peradaban Islam, khususnya sains pernah berjaya selama sekitar lima abad (abad ke-8 sampai 12) sehingga menjadi kiblat dari bangsa lain. Di antara faktor penyebabnya adalah adanya patron ilmu (penguasa Islam) yang mendukung secara material dan moral, luasnya jaringan perdagangan secara internasional, adanya semangat pluralis dari penguasa dan ilmuwan, dan tingginya etos sains dari para ilmuwan. Yang menjadi persoalan kemudian adalah mengapa kemajuan sains ini kemudian redup dan stagnan? Bahkan, ketika Napoleon Bonaparte ke Mesir tahun 1798 dengan membawa sejumlah saintis dari berbagai cabang ilmu kondisi di Mesir saat itu sangat memprihatinkan. Para ulama (sheikh) sama sekali tidak menunjukkan semangat intelektual Islam yang dinamis sebagaimana ditunjukkan oleh para saintis muslim di era keemasan. Ulama Mesir ketika itu larut dalam dunia mistik dan kehilangan kreatifitas berpikirnya. Kondisi serupa juga dapat dijumpai di dunia Islam yang lain seperti Benua Indo-Pakistan, Asia Tenggara, dan Timur Tengah, meskipun ada beberapa pengecualian di beberapa wilayah seperti Persia. Kondisi semacam ini berlangsung hingga kurun modern, padahal sains dan teknologi menjadi tolok ukuran kemajuan peradaban suatu bangsa saat ini.
Untuk mengembangkan sains dalam Islam pada era globalisasi ini yang pertama perlu dilakukan adalah merekonstruksi sejarah sains dalam Islam klasik secara menyeluruh, ketika peradaban Islam [dalam bidang sains] mencapai era keemasan (al-’asr al-dhahaby). Rekonstruksi dilakukan dengan terlebih dahulu memetakan permasalahan sains yang dihadapi umat Islam saat ini. Dengan demikian, akan ditemukan faktor penyebab yang menjadikan sains di dunia Islam kontemporer tertinggal dengan peradaban lain. Upaya rekonstruksi perlu dilakukan, sebab dalam banyak hal umat Islam tidak cukup kritis dengan sejarahnya sendiri, terutama tentang kemajuan sains pada era klasik. Bahkan, sebagian orang masih belum dapat memisahkan antara wilayah normatif dan historis tentang sains. Seakan-akan dengan datangnya Islam secara otomatis sains juga berkembang. Pandangan idealis-normatif ini perlu dibenturkan dengan kenyataan sejarah, bahwa proses pengembangan sains dalam Islam tidak berjalan secara monolitik-linear, namun terjadi proses yang rumit dan kompleks sehingga perlu pembacaan kritis dan hermeneutis atas fakta sejarah masa lalu.
Selanjutnya, bertolak dari rekonstruksi sejarah sains dalam Islam itu pada akhirnya ditemukan bahwa kemajuan sains dicapai ketika ada paradigma tauhid (tauhidic paradigm) dan etos sains yang dimiliki oleh saintis. Selain itu, peran patron ilmu dan ketersediaan khasanah sains pra-Islam juga mendukung pencapaian ini. Hal ini berujung pada cara pandang umat Islam tentang agamanya. Untuk itu, umat Islam perlu melakukan redefinisi tentang studi Islam; bahwa studi Islam (Islamic studies/dirasat islamiyyah) bukan hanya mencakup al-‘ulum al-naqliyyah saja seperti fiqih, kalam, tasawuf, tafsir dan hadis, namun juga al-‘ulum al-‘aqliyyah juga, seperti sains, humaniora dan humanitis. Yang menjadi ukuran adalah paradigma tauhid, bahwa semua ilmu yang terinspirasi dan didasarkan pada ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah, apa pun hasil kesimpulannya, maka termasuk kategori studi Islam.
Selain itu, dalam pemaknaan baru terhadap studi Islam itu tidak ada dikotomi antara wilayah agama dan sains, namun keduanya terintegrasi baik pada level ontologis, epistemologis maupun aksiologis. Dalam pengembangan sains, paradigma bayani, burhani, dan ‘irfani harus dilakukan secara terpadu, bahwa yang menjadi sumber pengetahuan sains meliputi teks, realitas, dan pengalaman atau intuisi. Teks tidak sekedar ayat al-Qur’an dan matan hadis saja, namun juga mencakup referensi ilmu peninggalan saintis muslim ataupun non-muslim. Sementara itu, realitas terkait dengan fenomena alam sekitar yang selalu berubah dan kontekstual. Sedangkan pengalaman memungkinkan saintis bersikap empatik dan menghargai keragaman pendapat yang dihasilkan oleh saintis lain. Untuk itu, sikap inklusif dan pluralis perlu lebih dikepedankan ketimbang penghakiman dan klaim kebenaran sepihak.
Ketiga, paling tidak ada tiga strategi yang dapat dilakukan untuk mengembangkan sains dalam Islam kontemporer, yaitu pergeseran paradigma (shifting paradigm) sains di perguruan tinggi, kemauan politik (political will) penguasa, dan institusioalisasi etos sains. Pertama, paradigma yang dimaksud adalah cara pandang terhadap sains dalam Islam yang merupakan bagian integral dari studi Islam, baik secara ontologis, epistemologis maupun aksiologis. Tanpa paradigma ini pengembangan sains dalam Islam hanya sebagai justifikasi temuan sains dan teknologi dengan ayat dan hadis. Sebab, paradigma ini meniscayakan tidak lagi memisahkan wilayah sains dalam posisi yang diametral dengan agama. Bahwa secara ontologis, untuk memahami Tuhan dapat dilakukan melalui ayat-ayat qawliyah dan kawniyah. Kedua, pengembangan sains sangat dipengaruhi oleh adanya patron ilmu, terutama oleh penguasa, yang diwujudkan dalam bentuk dukungan dana dan pembuatan kebijakan yang pro-sains dan teknologi. Ketiga, perlunya institusionalisasi etos sains, yaitu universalisme, komunalisme, organized skepticism, dan disinterestedness, di perguruan tinggi atau lembaga-lembaga sains dan teknologi lainnya. Wujud dari pelembagaan etos ini atara lain berupa kegiatan konkrit pengembangan sains seperti pengumpulan referensi pokok sains, kegiatan penelitian sains dan teknologi secara terstruktur dalam desain yang jelas, penghargaan terhadap saintis, dan berbagai forum ilmiah penunjang lainnya misalnya diskusi, seminar, lokakarya, simposium, sampai penelitian. Melalui lembaga ini juga perlu dibentuk lembaga riset dan pengadaan laboratorium yang representatif.
Akhirnya, membangun jaringan keilmuan antar saintis dan lembaga sains dari mana pun harus dilakukan. Adanya jaringan yang luas memungkinkan terjadinya dialog dan tukar-menukar ilmu pengetahuan dan teknologi, baik dari sisi sumber daya manusia, literatur ataupun peralatan. Untuk dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain ini diperlukan paradigma pengelola lembaga yang terbuka, moderat, dan pluralis tanpa mengorbankan identitas keislaman yang membawa kerahmatan bagi seluruh alam (islam rahmatan li al-’alamin).
sumber:muqowimjogja.blogspot.com

0 comments: